Kamis, 13 Oktober 2016

Run Kebo Run!


 

Tengah tahun 2012

“Put, aku beli roti dulu ya buat sarapan…”
Andi Fachri, lelaki yang kalau tidak salah asli Semarang itu, menyebrang jalan menuju mini market 24 jam. Saya merapatkan jaket sembari terkantuk-kantuk di pinggir jalan yang gelap. Fajar memang masih jauh. Namun kami sudah bersiap melaju menuju Jembrana. Pukul 04.00 WITA, Mas Andi menjemput saya di hotel. Lelaki yang baru beberapa bulan tinggal di Denpasar ini berbaik hati menjadi teman perjalanan saya. Karena masih nubitol ini pula, dia mengandalkan peta digital untuk keluar dari pusat kota Denpasar.

“Ada jalan tembusan…,” katanya saat kami agak sedikit berputar-putar mencari di mana jalan yang dimaksud. Mungkin ini efek karena jalan terlalu gelap. Mau tanya orang juga sepertinya mereka masih terlelap. Beruntung kami melewati sebuah pasar kecil yang sudah menunjukkan tanda-tanda kehidupan.

Langit mulai berubah warna. Sementara motor masih terus melaju. Pantat saya yang sudah lama tidak merasakan berkendara jauh rasanya pegal dan kaku. Sesekali kami berhenti untuk mengecek peta lewat smartphone. Saya menghela nafas lega saat melintasi sebuah patung lelaki penunggang kerbau, salah satu ikon dari kota Jembrana. Perjalanan lebih dari tiga jam itu sepertinya akan segera mencapai tujuan.

Jembrana terletak di Bali bagian Barat. Jauh dari hiruk pikuk pariwisata yang hampir terpusat di Bali Selatan dan Tengah. Bagian Barat ini memang sebagian besar adalah tanah yang berstatus taman nasional. Wajar bila banyak hutan di kanan-kiri. Turis yang datang rata-rata penggemar wisata minat khusus. Meski pegal, saya terhibur dengan warna-warni pagi sepanjang perjalanan ini. Kabut, terasering, perbukitan, dan siluet gunung yang terlihat monokrom di kejauhan. Hal serupa mungkin sudah susah ditemukan di wilayah-wilayah touristy Bali lainnya yang penuh bangunan tinggi menjulang.

Pagi itu kami memang berniat menonton balap kerbau atau biasa disebut Makepung. Sebuah perhelatan besar yang hanya bisa disaksikan di Jembrana saja. Makepung memang selalu berlangsung sedari pagi hari pukul 6 pagi. Membuat para wisatawan dari Denpasar harus bangun pagi-pagi buta untuk mengejar acara tersebut. Apalagi memang tak terlalu banyak penginapan yang ada di Jembrana.

Makepung hari itu berlangsung di daerah Delod Berawah. Jalanan begitu lengang sepanjang menuju tempat tersebut. Kanan kiri hanya terdapat persawahan. Saya berharap tak salah melihat agenda Makepung di website pemerintah kabupaten Jembrana. Saya punya pengalaman tak enak berkaitan agenda acara budaya yang diinformasikan lewat internet. Sudah jauh-jauh datang ke Bantul (Yogyakarta), malah tidak ada acara apa-apa. Beberapa orang juga ikut kecele. Tidak lucu rasanya kalau kali ini pun saya bernasib sama.

Mas Andi berkali-kali menggumam, “kok sepi banget ya…”. Membuat saya semakin was-was. Hingga akhirnya kami mulai melihat segerombolan kerbau memadati jalanan. Rupanya perjalanan sedari subuh ini tak sia-sia. Acara ini benar-benar tepat waktu. Tak beberapa lama setelah memarkir kendaraan, pasangan kerbau pertama yang dilombakan sudah dilepas. Riuh pun sontak terdengar.

Pagi itu tercatat hampir 250 pasang kerbau yang memperebutkan piala bergilir Jembrana Cup. Peserta terbagi dalam dua grup yakni Blok Ijogading Timur dan Barat. Lintasan balap yang digunakan adalah sebuah jalan desa yang bentuknya melingkar. Di bagian tengah lintasan terdapat beberapa petak sawah. Lebar jalan lintasan lebih kurang hanya tiga meter saja. Di sini tantangannya, saat sepasang kerbau harus mendahului pasangan di depan. Setiap kali peluit ditiupkan, ada dua pasang kerbau dari grup berbeda yang adu balap. Begitu seterusnya, hingga mendapatkan nama-nama pemenang untuk mengikuti putaran final yang diadakan siang itu juga.


Jangan abaikan keselamatan diri saking enaknya mengikuti atmosfer balap ini. Tak jarang ada kerbau yang mengamuk dan berusaha keluar dari lintasan. Beberapa orang tampak ambil jalan aman: menikmati perlombaan dengan duduk di atap genting rumah.

Semakin siang, aura persaingan semakin terasa. Teriakan-teriakan joki terdengar bersahutan demi memacu tenaga kerbau-kerbaunya. Setiap detik terasa begitu berarti dalam derap hewan-hewan ini. Penonton pun bersorak tak kalah riuh saat jagoannya berhasil mencapai garis finish.

Bosan berada di lintasan, saya memutuskan untuk keluar dan melihat lebih dekat di garis finish. Berjalan berjingkat-jingkat di tepian agar tak tertabrak gerobak kerbau. Seorang kameramen TV lokal bahkan hampir kehilangan gadget-nya karena terlalu menjorok tengah lintasan. Dia mengelus dada, memeluk kameranya yang hampir wassalam.

Di garis finish rupanya masih ada PR yang menanti para anggota tim balap yaitu menghentikan laju kerbau. Bayangkan, kerbau yang sudah dalam keadaan on-fire lari gradak-gruduk harus dihentikan begitu mencapai garis akhir. Kalau tidak kuat, bisa saja anggota tim ini terseret atau bahkan terlempar srudukan kepala kerbau.



Saya lantas bergerak ke arah pantai. Kebetulan lintas balap ini tak jauh dari Pantai Delod Berawah. Hanya perlu berjalan beberapa meter saja. Pantai ini tak setenar pantai-pantai lain di Bali. Dari segi pemandangan dan fasilitas, Pantai Delod Berawah jauh kalah dengan yang lain. Di bawah pohon-pohon rindang di tepian pantai, berjejer kerbau-kerbau yang telah berlomba. Saya bergidik ngeri saat berjalan di samping hewan-hewan itu. Nafas mereka masih terpacu kencang. Debaran detak jantungnya bisa terlihat jelas di permukaan kulit. Dag dug dag dug… Seorang lelaki nampak mengguyurkan air dingin di bagian pantat dua kerbaunya yang berdarah. Entah mengapa, saya jadi ikutan merasa perih.


"Ini luka akibat tungket, mbak…," kata Pak Nyoman sembari mengangkat sebuah tongkat sepanjang 40 cm yang diselimuti paku-paku kecil. Balap kerbau ini mengingatkan saya pada Karapan Sapi di Madura. Sama halnya seperti di Jembrana, Karapan Sapi menggunakan tongkat yang lebih kecil untuk memacu sapi-sapi agar berlari lebih kencang. Alhasil, banyak darah berceceran di bagian pantat hewan-hewan tersebut. Yang merasa mual melihat darah, sebaiknya jangan pernah nonton Makepung atau Karapan Sapi. Mungkin kesakitan inilah yang harus dibayar hewan-hewan ini setelah melewati bulan-bulan penuh kenyamanan. Pada perkembangannya sapi dalam Karapan maupun kerbau dalam Makepung ini memang sengaja dibesarkan untuk menjadi pembalap.

"Sekarang sudah banyak yang punya traktor pengganti kerbau di sawah," sambung lelaki yang sudah puluhan tahun mengikuti Makepung ini.  Tentu saja biaya perawatan kerbau balap tak semurah dengan yang dipekerjakan di sawah. Beberapa ada yang meningkatkan vitalitas dengan menggunakan ramuan tradisional dan makanan-makanan lainnya. Bisa jadi makanan untuk hewan ini lebih mahal daripada sepiring nasi majikannya. Mereka begitu dimanja laiknya merawat seorang bayi.



Pak Nyoman dan sang joki mengajak kerbau-kerbau balapnya berlatih dua minggu sekali menjelang pertandingan. "Saya latih di medan lumpur, karena lebih berat," ujarnya yang kerap kali mengganti kata joki dengan sebutan 'sopir'. Penunggang kerbau juga harus punya stamina lebih. Beberapa kali saya melihat joki-joki yang menggelepar pingsan setelah memacu kerbau-kerbaunya beberapa kali putaran. Apalagi final dilaksanakan menjelang tengah hari, di mana sengatan mentari sangat menguras energi.

Konon, zaman dahulu kala, Makepung memang dilakukan di tengah sawah basah. Para penunggangnya mengenakan pakaian tradisional laiknya prajurit kerajaan. Kegiatan berlari-lari dengan kerbau ini awalnya memang bertujuan untuk membajak lahan sebelum ditanami padi agar menjadi gembur. Karena sapi hewan yang disucikan di Bali, maka pekerjaan bajak sawah tradisional ini dilakukan oleh kawanan kerbau.


Tak jauh dari arena balap, saya melihat segerombol lelaki mengenakan pakaian tradisional Bali berwarna merah jambu. Mereka adalah para pemain Jegog, kesenian musik khas dari Jembrana yang semua instrumennya terbuat dari bambu. Tahun 2012 ini, konon Jegog telah mencapai usia 100 tahun sejak pertama kali dibuat oleh seorang petani setempat. Kesenian ini tak tersedia di daerah lain di Bali. Untuk dapat menikmati atau belajar pada ahlinya, wisatawan dapat mengunjungi Desa Sekar Agung, Jembrana. []


Makepung adalah tradisi berlarian dengan kerbau yang dilakukan oleh petani di Kabupaten Jembrana. Dahulu kala, Makepung digelar sebelum masa tanam padi. Tujuannya memang untuk membajak lahan basah. Pada perkembangannya, kegiatan ini pun dilombakan secara terjadwal mulai dari bulan Juni di tingkat kecamatan, hingga kisaran November untuk memperebutkan gelar juara tingkat kabupaten. Ditambah dengan adanya peningkatan teknologi pertanian, kerbau-kerbau ini tak lagi bekerja di sawah. Mereka dirawat sebagai kerbau balap. Setiap jadwal Makepung, ada dua grup besar yang berlomba. Perhelatan ini pun tak lepas dari iringan kesenian musik dari bambu khas Jembrana yang disebut Jegog. Info pelaksanaan Makepung tiap tahun bisa dilihat melalu situs pemerintah kabupaten Jembrana (http://www.jembranakab.go.id/)

Rabu, 21 September 2016

Pedas Menyengat dari Jogja

Benarkah orang aseli Jogja itu hanya doyan makanan manis tanpa campur tangan cabai rawit? Kalau menilik selera masakan keluarga mertua saya dari Godean, bisa jadi memang benar sih. Lantas, apakah kuliner Jogja yang dipadati pengunjung hanya kisaran gudeg saja? Ternyata tidak juga. Setelah tinggal beberapa bulan di Sleman, saya akhirnya menemukan cukup banyak warung yang melejit karena keberanian menggunakan cabai di dalam kuliner andalannya.

Mangut Lele Mbah Marto
Mencari warung Mangut Lele Mbah Marto memang butuh kejelian. Informasi dari mulut ke mulut kompak mengatakan bahwa warung legendaris ini terletak di dekat pintu keluar Insitut Seni Indonesia (ISI) Jalan Parangtritis. Memang tidak salah, tapi tidak ada signage tentang warung ini saat saya sudah berada di depan ISI. Bertanya pada warga lokal sekitar adalah opsi terakhir yang harus dilakukan.

Mbah Marto menggunakan kediamannya untuk dijadikan warung. Rumah sederhana di tengah gang sempit itu hanya diisi beberapa meja dan kursi panjang untuk tempat pembeli. Datang dan masuklah ke dalam dapurnya untuk mengambil sendiri menu masakan yang diinginkan. Tidak perlu sungkan, karena memang beginilah aturan tak tertulis di warung ini. Anda akan menemukan Mbah Marto yang biasa ditemani kerabatnya, sedang bercengkrama di dapur sambil sesekali menyapa pelanggan dengan bahasa Jawa halus.

Menu spesial warung ini adalah mangut lele, yaitu lele yang diasap dan dimasak menggunakan kuah santan pedas. Seporsinya dihargai 10000 rupiah (tahun 2012-an). Selain itu juga terdapat gudeg dengan daun pepaya, garang asem ati, dan opor ayam. Mbah Marto hanya membuka warungnya untuk jam makan siang, yaitu 11.00-16.00 saja. Jika sudah berada di sepuataran ISI, jangan sungkan untuk bertanya pada warga sekitar. Jangan menyerah jika harus tersasar terlebih dahulu, karena itulah sensasi untuk menemukan warung kuliner milik Mbah Marto.


 
Entok Slenget Kang Tanir
Entok dalam Bahasa Jawa adalah itik manila, sedangkan slenget berarti menyengat. Kang Tanir memberi nama warung sesuai dengan spesialisasinya memasak rica-rica itik pedas yang mampu menyengat lidah pembelinya. Lokasi warung ini terletak di daerah Turi yang sejuk. Dari pusat kota Yogya perlu setidaknya 45 menit berkendara menuju warung ini. Meskipun jauh, dijamin tidak akan menyesal berkunjung kemari. Kanan kiri jalan dipenuhi dengan hamparan sawah dan kebun salak pondoh. Pada akhir pekan, jalanan menuju Turi akan disesaki oleh kendaraan yang hendak berwisata di lereng Gunung Merapi di Kaliurang.

Warung Kang Tanir buka pukul 16.30 sore, di mana udara Turi menjadi semakin dingin menjelang gelap. Pas sekali jika memesan sepiring entok slenget dengan nasi panas. Anda bisa meminta tingkat kepedasan yang sesuai dengan toleransi lidah. Pertama, Kang Tanir akan mengambil beberapa cabai rawit untuk ditumbuk kasar. Lalu dimasukkan ke dalam satu wajan berisi potongan entok yang telah direbus sebelumnya. Setelah ditambah kecap dan bumbu lainnya, semua campuran itu dimasak dengan api yang besar. Entok slenget dibandrol 25000 rupiah per porsi termasuk nasi, sepiring potongan kubis mentah dan timun segar plus teh atau jeruk hangat. Jika hendak berkunjung di akhir pekan, pastikan Anda datang lebih awal. Karena hanya dalam waktu 2-3 jam, stok daging entok bisa ludes seketika.
Lokasi: Pasar Agropolitan Pules, Donokerto, Turi, Sleman.





Penyetan Mas Kobis
Sekitar 10 tahun lalu, warung Penyetan Mas Kobis hanya menempati sepetak poskamling di daerah Universitas Negeri Yogyakarta. Warung ini menjadi andalan mahasiswa-mahasiswa terutama yang doyan pedas. Namun sekarang, warung ini sudah memiliki tempat yang luas dan banyak cabang sehingga menjangkau berbagai kalangan.

Penyetan Mas Kobis menyediakan menu berupa ayam, tahu tempe, telur, ikan nila, ati ampela dan lele dengan kisaran harga 5000 – 12000 rupiah. Buka sedari jam 11.00 – 23.00. Jangan lupa selalu cantumkan seberapa pedas sambal yang Anda inginkan. Dua atau dua puluh cabai pun akan tetap dilayani. Cabai-cabai ini ditumbuk kasar dengan bawang putih lalu ditambah sedikit minyak goreng panas. Kemudian lauk yang Anda pesan akan digeprek atau dihancurkan di dalam cobek berisi sambal bawang tadi. Bahkan jika Anda memesan terong atau kol goreng pun akan turut digeprek juga. Hasil akhir penampakan menu di warung ini memang terkesan berantakan. Tapi itulah ciri khas penyetan Mas Kobis sedari bertahun-tahun lalu. Meskipun tak menarik dilihat, bukan berarti tak sedap di lidah, bukan?
Lokasi: Pusat di Jalan Alamanda sebelah timur Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta


Waikabubak At a Glance

Desember 2014
 
Setahun terakhir, Sumba, sebuah pulau di antara gugusan kepulauan Nusa Tenggara Timur mendadak ramai dikunjungi wisatawan, terutama dari kancah domestik. Kebanyakan mereka tergiur menikmati Sumba setelah booming sebuah film nasional garapan Mira Lesmana yang mengambil lokasi syuting di pulau tersebut. Selain suguhan alam yang memanjakan mata, budaya Marapu yang dianut penduduk lokal juga menjadi daya tarik tersendiri.

Plesiran kali ini akan membawa kaki kamu ke Waikabubak, ibukota Kabupaten Sumba Barat. Sumba memiliki dua bandar udara yaitu di Waingapu (Sumba Timur) dan Tambolaka (Sumba Barat). Pilihan paling dekat adalah mendarat di Tambolaka lantas lanjut jalan darat menggunakan travel atau mobil sewaan selama satu jam menuju Waikabubak.

Kampung Tarung dan Kampung Waitabar
Kedua kampung ini terletak di pusat kota Waikabubak sehingga sangat mudah akses untuk mencapainya. Tarung dan Waitabar merupakan representasi kampung asli Marapu yang masih eksis hingga abad ini. Keduanya terletak bersebelahan, sehingga wisatawan bisa langsung menuju Waitabar dari Tarung dengan berjalan kaki saja.

Pengunjung bisa melihat jejeran hunian tradisional beratap alang-alang kering yang dalam bahasa lokal disebut uma alang. Meskipun tampak rapuh, namun alang-alang ini kuat hingga belasan tahun terpapar hujan dan sengatan panas. Lain soal jika terhempas angin kencang. Di bagian tengah rumah terdapat sebuah tungku yang zaman dulu digunakan sebagai pusat kehidupan karena tidak ada listrik. Berbagai ritual harus dilaksanakan jika pemilik rumah hendak merenovasi. Sekedar mengganti alang-alang pun ada aturannya. Untuk memasang 1 tiang kayu penyangga rumah, pemilik harus memotong kurban terlebih dahulu.

Uma alang tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, karena kegiatan spiritual juga dilakukan di dalamnya. Bagian bawah biasa digunakan untuk menampung hewan peliharaan. Lalu lantai atasnya digunakan untuk tempat tinggal utama, dan bagian paling atas atau menara yang menjulang tinggi digunakan untuk menyimpan barang-barang berharga. Ada yang mengatakan juga bahwa bagian tersebut tempat berdiamnya roh leluhur.

Pada perkembangannya, banyak sekali uma alang di kampung lain yang kini menjadi rumah dinding bata atau sekedar mengganti atap daun menjadi seng. Selain uma alang, salah satu budaya Marapu di Sumba adalah mengubur jenazah keluarga di sebuah kubur batu yang terletak di halaman rumah. Pengunjung bisa melihat banyak kubur batu bertebaran di kedua kampung ini.


Lapangan Pasola Lamboya dan Pantai Kerewe
Apakah kamu pernah mendengar tentang Pasola? Sebuah perayaan paska panen di Sumba di mana para pemuda lokal saling melemparkan tombak ke kubu lawan sembari berkuda. Pasola digelar di beberapa desa terutama di Kabupaten Sumba Barat dan Barat Daya. Salah satu yang terdekat dengan Waikabubak adalah gelaran Pasola di kecamatan Lamboya, hanya berkendara selama 60 menit saja. Menarik apabila kedatanganmu tepat saat perayaan ini yaitu sekitar Februari – Maret.

Pasola Lamboya dilaksanakan di sebuah lapangan padang rumput yang begitu luas dan kerap disebut bukit Hobba Kalla. Pemadangan dari sini begitu menyejukkan mata. Kamu bisa menikmati lanskap persawahan, atap-atap uma alang yang menyembul di balik pepohonan serta melihat Pantai Kerewe dari kejauhan. Hanya butuh 30 menit saja untuk mencapai pantai tersebut.

Biasanya, para penonton Pasola kerap berkunjung ke Pantai Kerewe setelah perayaan berakhir. Mereka berenang dan menikmati ombak yang cukup bersahabat. Pada hari-hari biasa, pantai ini cukup sepi. Kamu bisa duduk-duduk di bibir pantai sembari menyeruput kelapa muda yang biasa dijajakan anak-anak kampung sekitar. Segar baru petik dari pohonnya dan murah lagi!

Taman Nasional Manupeu Tanah Daru
Pulau Sumba memiliki dua taman nasional yang masih relatif baru usia berdirinya yaitu Taman Nasional Laiwangi Wanggameti dan Manupeu Tanah Daru. Kalau kamu mencari obyek menarik di sekitar Waikabubak, maka menjelajah Air Terjun Lapopu adalah keharusan.

Air terjun alami ini adalah bagian dari zona wisata Taman Nasional Manupeu Tanah Daru yang terletak di kecamatan Wanokaka. Akses kendaraan roda empat terbilang cukup mudah karena jalan aspal sudah dibangun akhir tahun lalu. Hanya memakan waktu kurang dari satu jam saja dari pusat kota Waikabubak. Kemudian dilanjutkan dengan jalan kaki sepanjang 400 meter dan melewati jembatan bambu. Sebelum masuk ke area air terjun, wisatawan wajib lapor di pos jaga yang tersedia serta membayar retribusi sebanyak 5000 rupiah. Sedangkan mereka yang dari manca negara ditarik 100000 rupiah. Untuk kepentingan penelitian, izin harus melalui kantor balai taman nasional tersebut lebih dahulu dan mengurus simaksi.

Jangan heran, bila kamu tak kuasa untuk berenang di air terjun berundak ini. Begitu segar! Arus sungainya pun relatif tenang dan dangkal. Cocok untuk yang doyan bermain air. Apalagi bila datang di tengah hari, saat mentari menyengat kulit. Suara derasnya air yang jatuh dari ketinggian begitu syahdu beradu dengan cicit burung-burung. Taman Nasional Manupeu Tanah Daru juga disebut surga untuk birdwatching. Untuk kegiatan tersebut, wisatawan perlu didampingi petugas dari taman nasional yang mengetahui lokasi-lokasi strategis untuk melihat burung endemic seperti kakatua jambul jingga dan julang Sumba.

Rabu, 14 September 2016

Sembilan Candi di Lereng Gunung Ungaran


Agustus 2013

Matahari masih malas muncul saat saya dan keluarga tiba di pelataran parkir Candi Gedong Songo, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Kami memang sengaja berangkat setelah subuh untuk menghindari kemacetan yang mengular di musim liburan. Jarak tempuh dari pusat kota Semarang menuju candi ini kurang lebih dari 40 km, tak sampai satu jam berkendara. Tentu saja, kalau tidak ada acara mampir-mampir.

Candi Gedong Songo terletak di lereng gunung Ungaran, sekitar 1200 meter di atas permukaan laut. Kebun-kebun sayur bertebaran di kanan kiri jalan. Bunga-bunga hias pun juga tumbuh subur. Selama perjalanan beberapa kali kami melihat petani sayur yang siap menjajakan hasil panennya. Sawi, bawang daun, tomat nampak segar di dalam karung-karung dagangan. Dari aplikasi smartphone, pagi itu suhu tercatat 18 derajat. Dingin dan begitu sejuk.

Dalam bahasa Jawa, Gedong Songo berarti Sembilan Gedung. Candi-candi Hindu di sini dahulunya berada terpisah-pisah menjadi sembilan kompleks. Namun sekarang, wisatawan hanya bisa menikmati lima kompleks saja, sedangkan empat kompleks lain hanya tinggal puing kenangan saja.

Dari segi ukuran, candi-candi di sini tak terlalu besar dan lebih mirip dengan candi Arjuna di Dataran Tinggi Dieng, Wonosobo. Karena kesamaan ukuran dan topografi alam itu pula banyak sumber bacaan yang menyebut bahwa candi Gedong Songo masih bersaudara dengan candi Arjuna. Sama-sama dibangun masa Dinasti Sanjaya, sekitar abad ke-8. Relief Dewa-Dewi di dinding batu juga tak terlalu tampak karena dimakan usia. Meskipun demikian Candi Gedong Songo masih memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Terutama bagi mereka yang jenuh tersengat terik mentari di Semarang dan sekitarnya.

Dari komplek Candi Gedong pertama hingga kelima, kami berjalan mengikuti jalan setapak yang telah disediakan dengan rapi oleh pengelola. Candi Gedong pertama tercatat berdiri di sekitar ketinggian 1208 meter di atas permukaan laut. Semakin lama memang semakin menanjak dan menguras tenaga, namun pengunjung dapat beristirahat di warung-warung di tengah rimbunnya hutan pinus. Menghangatkan diri dengan segelas teh panas dan sepiring mie rebus, sembari menikmati pemandangan kebun-kebun lombok, kubis dan sawi yang berada di areal candi. 

Candi Gedong kelima berada di area tertinggi yaitu 1300 meter di atas permukaan laut. Dari atas sini, pengunjung bisa melihat Candi Gedong ketiga yang nampak cantik berlatar belakang hutan pinus penuh kabut. Masing-masing kompleks candi memiliki jumlah candi yang berbeda-beda, walaupun hanya satu hingga tiga candi saja yang masih berdiri. Misalnya pada Candi Gedong keempat, dari puing-puing yang tersisa, seharusnya kompleks itu terdiri atas 9 candi. Bisa dibayangkan ramainya Candi Hindu di lereng Gunung Ungaran ini pada belasan abad lalu. Apabila dijumlah, mungkin saja terdapat puluhan candi di kompleks Gedong Songo ini.

Tak terlalu banyak kompleks Candi di Jawa yang lengkap dengan suguhan pemandangan alam dataran tinggi ditambah hembusan angin sejuk seperti di Gedong Songo ini. Di antara kompleks Candi Gedong ketiga dan keempat, pengunjung akan melewati sumber air panas belerang yang dikelola menjadi sebuah pemandian mini. Konon, air seperti ini bisa menyembuhkan berbagai penyakit kulit seperti jerawat dan gatal-gatal karena jamur.

Bagi yang tak kuat berjalan jauh dan menanjak, ada opsi menggunakan jasa kuda di sini. Tarifnya tak sampai 100 ribu untuk rute candi Gedong pertama hingga terakhir, lantas kembali lagi ke pintu masuk. Pengelolaan Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Alam di Candi Gedong Songo ini boleh diacungi jempol, padahal tiket masuk wisatakan lokal hanya 7.500 rupiah saja per orang. Taman-taman di kompleks candi sangat dirawat, begitu pula dengan penataan areal warung dan penjaja souvenir. Untuk kuliner yang populer di sini, pengunjung bisa menyantap Sate Kelinci dengan harga per porsi 15.000 rupiah yang bisa ditemukan pada hampir semua warung di Gedong Songo.


Tepat setelah menapaki candi tertinggi, saya dan keluarga akhirnya tergoda menikmati semangkok mie rebus yang asapnya mengepul-ngepul. Perut semakin keroncongan saat mencium aroma bumbu yang tersiram air panas. Nikmat sekali! Setelah tenaga terkumpul kembali, kami turun menuju parkiran. Rupanya, keputusan untuk berangkat ke Gedong Songo sepagi mungkin sudah sangat tepat. Meskipun perjalanan dari candi ke candi diliputi kabut tebal, namun hal itu malah menambah efek mistis cagar budaya tua ini. Semakin siang, pengunjung yang datang semakin membludak. Beberapa keluarga menyewa tikar dan asyik piknik di taman-taman candi. Untuk sekedar memarkir pun pengunjung bermobil harus bersabar menunggu ada tempat kosong dari mobil lain yang meninggalkan area. Maka, datang sepagi mungkin adalah tips terbaik menuju Gedong Songo jika Anda ingin menikmati kesyahduan pemandangan di sekitar candi. []

Kamis, 22 Oktober 2015

Peramu Biru Dari Lambanapu





“Bagaimana bisa harga kain satu juta diminta dua ratus? Padahal ya, begini ini kami membuatnya.” Ngana Ana memasukkan kedua tangannya ke dalam baskom berisi cairan berwarna gelap. Sesekali perempuan paruh baya itu mengaduk-aduk menggunakan batang kayu, sembari tetap berceloteh santai.

“Ibu marah tidak kalau ada yang menawar seperti itu?” tanya saya yang berdiri di balik punggungnya.

“Tidak… tidak marah. Kan mereka tidak tahu. Saya bilang, kalau harga dua ratus ada kain lain, tapi dari benang toko yang warna-warni, bukan benang pintal ini. Ya… biasanya tamu dari kota yang seperti itu,” sambungnya tanpa menjelaskan lebih detil kota mana yang dimaksud. Usai memasukkan gulungan benang terakhir, dia melangkah keluar meninggalkan gudang kecil berdinding seng yang sangat panas dan pengap. Saya mengikutinya seperti anak bebek sambil tak henti mengibaskan tangan karena gerah.

Halaman rumah Ngana Ana sebetulnya rindang. Ada beberapa nyiur kelapa dan pohon-pohon besar di sekitar. Suara gemericik air sungai juga terdengar menyegarkan, karena tak jauh dari sana terdapat sebuah bendungan. Meskipun demikian, tetap saja matahari menyengat tanpa ampun, terlebih saat memasuki musim kering seperti ini di Waingapu.

Ngana Ana mencuci kedua tangan sekenanya saja. Air tinta tadi dibiarkan membekas di kulitnya meninggalkan warna biru dongker. “Tangan saya tidak pernah bersih. Belum sempat luntur yang ini, sudah harus mengerjakan warna lagi,” ujarnya sembari terkekeh memamerkan deretan gigi berwarna oranye khas penikmat sirih pinang.

Kami lantas berjalan beriringan menuju teras depan, tempat di mana alat pintal dan alat tenun tradisional diletakkan. Kawan saya, Rambu Ana, sedang serius mencoba mengoperasikan keduanya. Meskipun lahir dan besar di Waingapu, namun gadis yang berprofesi sebagai polisi hutan itu mengaku tak terlalu mahir menenun.

“Bisa sih, tapi yang kecil-kecil saja, perlu kesabaran untuk membuat hinggi yang lebar,” kata Rambu Ana. Dia pula yang mengantar dan mengenalkan saya pada Ngana Ana, si peramu warna biru.

Beberapa gulungan benang warna biru dan merah 


Mengapa biru? Menurut Rambu Ana, tidak terlalu banyak penenun yang bisa membuat warna biru alami. Di tempat tinggalnya, Kampung Prailiu, kebanyakan hanya membuat benang berwarna merah dan kuning. Bila membutuhkan benang warna biru untuk pesanan kain tenun, maka dia akan berkendara 15 menit ke Lambanapu untuk bertemu Ngana Ana.

Kain tenun Sumba sebetulnya berfungsi sebagai satu set pakaian tradisional. Ada tiara untuk ikat kepala, hinggi kalambung sebagai sarung di pinggang, dan hinggi nduku yang diselempangkan di bahu. Biasanya dikenakan saat acara-acara adat. Karena bernilai ekonomi tinggi dan memiliki makna spiritual, hinggi juga digunakan sebagai mahar pernikahan dan kafan jenazah saat terjadi kematian.

Seperti yang pernah diceritakan Rambu Ana tentang proses pemakaman ayahnya, yaitu Raja Tamu Umbu Ndjaka. Almarhum adalah raja terakhir di Kampung Prailiu yang meninggal tahun 2008 namun baru dikubur tahun berikutnya. Selama jenjang waktu tersebut, jenazah disemayamkan di ruang keluarga dan tak henti didoakan setiap hari. Tubuh Sang Raja diselimuti berlapis-lapis hinggi dan dibalur berbagai ramuan dari kapur dan tembakau agar kondisinya tetap terjaga hingga tiba saat dikuburkan.

Kubur batu seberat 40 ton tempat Raja Tamu Umbu Ndjaka dimakamkan


“Di dalam kubur Ayah, terdapat sekitar 110 kain tenun persembahan dari warga dan kerabat. Mereka memohon agar kain-kain itu ikut dikubur bersama Raja sebagai bentuk penghormatan terakhir,” ujar Rambu Ana.

"Bayangkan kalau kain-kain itu dijadikan rupiah, lumayan banyak juga kan, hahaha…,” kelakarnya. Meskipun berasal dari keluarga kerajaan, namun gadis itu memang doyan bercanda dan bergaul dengan siapapun.

Beberapa kali berkunjung ke Waingapu, saya selalu menyempatkan untuk bertandang ke rumah Rambu Ana. Sekedar menanyakan kabar, atau berbagi cerita-cerita seru, termasuk tentang adat-istiadat kepercayaan Marapu yang dianut oleh masyarakat Sumba. Saat ini memang banyak warga yang menganut agama tertentu, namun Marapu tak lantas hilang begitu saja dari kehidupan mereka.

Prailiu menjadi salah satu kampung raja di Sumba Timur yang sering dikunjungi wisatawan karena letaknya hanya 10 menit berkendara dari pusat kota Waingapu. Tiap daerah di Sumba memiliki motif tenun yang khas. Begitu pula di Prailiu. Paduan warnanya juga tak banyak. Hanya didominasi oleh merah, hitam, kuning, dan biru. Untuk pewarna merah, penenun menggunakan bahan dari akar mengkudu. Sedangkan warna biru, berasal dari tanaman nila yang tumbuh subur di pekarangan Ngana Ana. Ekstrak daun nila ini yang menghasilkan warna biru tua. Tentu saja ada campuran bahan alam lain, tapi saya tak menanyakan lebih lanjut. Feeling saya sih, itu sifatnya rahasia.

Daun nila sebagai bahan dasar pewarna biru


Setelah memintal dan mewarnai benang, proses berikutnya adalah menggambar motif. Canggihnya, leluhur mereka tidak melewati tahap ini. Hanya berbekal perasaan dan langsung menenun benang-benang tersebut menyerupai motif yang diinginkan. Satu lembar kain hinggi yang lebar menjalani proses cukup panjang dan lama, kira-kira 6 bulan sejak kapas-kapas masuk alat pintal.

Menggambar motif kain tenun


Kalau boleh saya sebut, rumah Ngana Ana ini bagaikan one stop weaving center. Selain ditumbuhi tanaman untuk pewarna alami, di sini juga terdapat pohon kapas sebagai bahan dasar benang pintal. Alat-alat tenun juga tersedia. Lengkap sekali! Mungkin Ngana Ana bisa mempertimbangkan untuk membuka kursus tenun hinggi dari nol.

Kapas yang sebagai bahan dasar benang


Belum sempat mengusulkan ide itu, suami Ngana Ana tiba-tiba muncul menghidangkan dua kelapa muda segar baru petik dari pohon di pekarangan. Tak sopan bila menolak niat baik seseorang. Saya dan Rambu Ana segera meneguk air kelapa dengan terburu-buru. Sepertinya kami sama-sama kehausan dipanggang matahari.

Dalam perjalanan pulang kembali ke Prailiu, Rambu Ana sempat mengutarakan keinginan tulus untuk mengembangkan kampungnya menjadi sentra budaya di Sumba khususnya Sumba Timur.

“Saya ingin tenun kami banyak dikenal orang Indonesia dan luar negeri. Tapi pemasaran selalu menjadi kendala. Apalagi harga tenun juga tidak murah bagi sebagian orang. Regenerasi juga penting. Ilmu pewarnaan alami harus diturunkan pada yang muda, agar kualitas tenun Prailiu tetap bertahan.”

Semangat ya, Rambu! 

Hinggi berwarna biru putih dengan motif binatang 


PS:
Postingan ini diikutsertakan dalam kompetisi blog #KainDanPerjalanan yang diselenggarakan Wego. 
Selain itu, postingan ini mengawali cerita-cerita saya selama beberapa kali bolak-balik ke Sumba. Mudah-mudahan rajin menulis lagi yaaa... Amin!